Astaghfirullah! Mendadak Ponselku Berdering! Selamat Jalan Istriku, Cerita Riil yang Mengoyak Hati (3)

shares


Hari keempat. Sore itu saya di panggil ke ruangan Dokter Sugiono yang juga akan lakukan Kemoterapy. Disebutkan kalau kanker istriku fase 2A serta Insya Allah masih tetap dapat diobati. Istrikupun siap untuk melakukan penyembuhan dengan kemoterapy. Lalu kami minta ijin ke Dokter untuk diijinkan pulang sembari menyiapkan semua sesuatunya. 
Malam hari saat kami dirumah, kami minta pendapat dari pihak keluarga mengenai penyembuhan yang juga akan kami kerjakan. Dengan beragam pertimbangan serta argumen pihak keluarga merekomendasikan supaya kami tidak meniti jalan kemo serta radiasi. Kami dianjurkan untuk melakukan penyembuhan lewat cara alternatif serta penyembuhan herbal. 

Astaghfirullah! Mendadak Ponselku Berdering! Selamat Jalan Istriku, Cerita Riil yang Mengoyak Hati

Pada akhirnya mulai sejak waktu itu kami lakukan ikhtiar pegobatan lewat cara alternatif serta minum obat-obat herbal. Karna waktu itu istriku telah sulit untuk menelan jadi obat herbal yang didapatkan tidak berbentuk kapsul, tetapi berbentuk rebusan. Sehari-hari istriku mesti minum ramuan serta rebusan obat-obat herbal yang baunya begitu menyengat. Namun saya saksikan ia dengan tekun serta sabar teratur minum semuanya obat-obatan itu. 


Semangatnya untuk pulih demikian besar. Doa juga tidak ada henti kupanjatkan siang serta malam. Serta malam-malamku senantiasa ku butuhkan dengan tahajud serta hajat. Saya mulai rajin mencari semuanya info yang terkait dengan kanker nasofaring, dari mulai makanan, langkah penyembuhan, bahkan juga alamat klinik penyembuhan alternatif. Semuanya info saya mencari lewat internet, koran serta dari beberapa rekanan kerja. 
Tiga bulan penyembuhan, namun Allah kelihatannya belum juga berikan jalan kesembuhan dengan langkah tersebut, pada akhirnya obat herbal saya tinggalkan. Bahkan juga penyembuhan alternatif telah saya tinggalkan mulai sejak 1 bulan awal karna saya sangsi. Sebagian keluarga istri mulai putus harapan. Jadi ada yang berasumsi penyakit ini yaitu kiriman dari orang. Namun saya bantah semua, pernah ada pertentangan diantara kami. Saya optimis istriku kalau ini yaitu memanglah ujian dari Allah, 
“Bun.. semua atas kehendak Allah, bahkan juga jauh sebelumnya kita lahir telah tertulis takdir ini, umur segini bunda sakit, berobat ke sini-sini itu sudah ada semua.semua telah tersedia dalam catatan Allah bun. Yang perlu saat ini kita janganlah capek berihtiar serta bunda tetep mesti semangat untuk pulih. ” Ia mengangguk perlahan-lahan. 
Berat tubuh istriku mulai turun mencolok karna tidak ada konsumsi makanan, sebelumnya sakit beratnya 53 Kg saat ini tinggal 36 Kg. Keadaannya semakin kronis serta puncaknya saat saya saksikan mata kirinya telah tidak focus. Langkah ia lihat seperti orang juling. Menurut Dokter herbal yang mengatasi istriku berikut rangkaian perjalanan kanker itu yang lama kelamaan juga akan menyerang otak. Dokter menyarankan untuk selekasnya dibawa ke rumah sakit.
Pada akhirnya saya kembali membawanya ke Tempat tinggal Sakit. Kesempatan ini saya membawanya ke RS. Husni Thamrin. Istriku dikerjakan oleh tim yang terdiri Dokter THT, Dokter Internis serta Dokter spesialis pakar kemoterapy, Kebetulan Dokter Sugiono pakar kemoterapy yang dahulu menjaga istriku di RS. Proklamasi juga praktik disini. Serta saat ini Dokter sugiyono kembali mengatasi istriku. 
Sore itu Dokter menyebutku ke ruangnya. Dokter menerangkan fase kanker istriku telah jadi 4C, serta kankernya telah mulai menggerogoti tulang tengkorak penyangga otak. Lihat hasil CT Scan nya saya merinding, tampak terang tulang-tulang tengkorak itu keropos seperti daun termakan ulat. Saya menginginkan menjerit, “Ya Allah… demikian berat masalah ini Kau timpakan pada kami” 
“Ma’afkan bapak bun, bapak tidak dapat melindungi bunda…! ” 
Yang lebih mencengangkan saat dokter menyebutkan, “kita cuma dapat perlambat perkembangan kankernya bukanlah menyembuhkan. ” Seakan hitungan mundur kematian itu diawali. Saya limbung serta nyaris taksadarkan diri, sekuat tenaga saya berusaha untuk tetaplah tegar. Dengan dipapah adik saya keluar dari ruangan dokter. Selekasnya saya menuju Mushola kuambil air wudhu serta kujalankan sholat. Tak tahu sholat apa yang kujalankan ini. 
“Aku menginginkan ketenangan saya perlu pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan semua permintaan ini di hadapanMu yaa Allah. Dapat saja dokter memfonis dengan analisanya, namun Engkaulah yang maha kuasa atas semua sesuatunya. Engkau maha menggenggam semuanya takdir, sakit ini dariMu ya Allah serta padaMU juga saya mohon obat serta kesembuhannya. ” 
Semua ikhtiar serta do’a tidak ada capek kulakukan tuk kesembuhan istriku. Malam-malamku kulalui dengan sujud panjang selain bangsal rumah sakit. Kubenamkan wajahku di atas sajadah lebih dalam sekali lagi, mendadak saya terasa tidak mimiliki kemampuan apa pun, saya ada dalam kepasrahan serta penghambaan yang lemah. 
“Robb…Engkau maha ketahui, begitu semua ihtiar sudah kami kerjakan. Tidak ada menyerah kami melawan penyakit ini, saat ini saya serahkan semuanya padaMu, tak ada kemampuan yang mampu menaklukkan kemampuannMu yaa…Robb, Perlihatkan pertolonganMu, berikan kesembuhan pada istriku Ya.. Allah. ” 
Waktu itu istriku masih tetap dapat bicara walau dengan nada kurang terang. Karna tenggorokannya juga telah menyempit terhalang kanker, ia begitu kesusahan dalam bernafas. Untuk menghadapi supaya tidak terhalang saluran nafasnya, dokter merekomendasikan supaya dipasang ventilator dileher istriku. Akupun menyepakatinya walau saya tidak tega, namun ini kemungkinan paling kecil yang dapat di ambil. 
Istriku pasrah, dia minta saya temaninya ke ruangan operasi. Saya begitu tahu ia begitu takut dengan perlengkapan medis di ruangan operasi. Lalu saya mendampinginya dalam ruangan operasi untuk pemasangan Ventilator. Saya lihat dengan terang leher istriku disayat lalu dimasukkan alat bantu pernapasan itu. “Sebenarnya saya tidak tega melihatmu begini bunda, namun berikut yang paling baik untukmu sekarang ini. ” 
Usai pemasangan ventilator bicaranya telah tidak bertemura sekali lagi. Mulai sejak waktu itu praktis komunikasi kami cuma dengan isyarat atau kadang-kadang istriku menulisnya pada lembar-lembar catatan kecil yang berniat saya sediakan. Sudah pasti hal semacam ini merasa lelah baginya. Tetapi lagi ia tampak tegar tidak sempat saya mendengar ia mengeluh. Pada akhirnya dengan beragam pertimbangan akupun menyepakati untuk dikerjakan kemoterapy pada istriku. 
Kurang lebih jam 12 siang kemo step awal dikerjakan. Dengan perasaan tidak menentu saya lihat dokter mengolah obat dengan peralatan pengaman yang lengkap. Karna menurut dokter obat ini memanglah keras. 
“Ya Allah berikan kemampuan pada istriku…! ” Berikan kesembuhan lewat ihtiar obat ini ya Allah..! ” 
Selama sistem penyembuhan tidak hentinya kupanjatkan do’a serta dzikir dibantu dengan sebagian anggota keluarga. Menurut Dokter kemo ini dikerjakan dalam 3 hingga 5 step. Satu bagian kemo menelan saat 5 hari lalu jeda 3 minggu untuk dilanjutkan ke step selanjutnya. 
Hari ke-2 sesudah kemo lebih kurang jam 9 malam, istriku mulai terasa mual serta muntah. Hari ke-3 jam 12 malam mulai keluar mimisan dengan darah hitam mengental. Hari keempat jam 8 pagi saat aku memandikan serta bersihkan mulutnya yang terus-terusan keluarkan lendir, ada lendir bercampur darah hitam pekat serta mengental. 
Menurut dokter ini yaitu tanda kankernya telah mulai hancur. Malam harinya istriku tidur begitu pulas serta sedikit batuk berdahak seperti hari-hari terlebih dulu. Alhamdulillah kemo step awal usai. Dokter katakan bila keadaan istriku lebih baik jadi tiga hari sekali lagi bisa pulang. Tampak muka cerah istriku saat mendengar berita ini. “nanti jika pulang ingin kemana bun.. ke Sawangan apa ke Kebayoran (tempat tinggal ibunya)? ” 
“ke Sawangan saja tempat tinggal kita sendiri, ” jawabnya lewat secarik kertas.
Tetapi nyatanya dua hari lalu ia alami diare yang hebat ini yaitu resikonya dari obat kemo, hingga keadaannya kembali lemas. Gagasan pulangpun mesti dipending menanti keadaannya lebih baik. Namun semakin hari keadaan istriku semakin drop. Sampai mendekati kemo step ke-2 jadi albumin dalam darahnya alami penurunan. 
Sepanjang dirawat istriku memohon supaya aku sendiri yang memandikannya, bahkan juga saya juga yang bersihkan kotorannya. Semua aku lakukan dengan tekun karna saya terasa saat ini waktunya untuk membalas semuanya kebaikan yang sudah dikerjakannya kepadaku sampai kini. Saat istriku sehat dialah yang senantiasa merawatku, temaniku serta senantiasa mempersiapkan semuanya kebutuhanku. 
Sepanjang nyaris sebulan di Tempat tinggal Sakit kami terasa temukan keluarga baru. Keakraban tersambung pada kami dengan tim dokter, dengan beberapa suster bahkan dengan cleaning service yang setiap hari bersihkan kamar istriku. Aku terasa suka saat satu hari istriku bisa tertawa riang bercanda dengan beberapa suster walau tawanya tanpa ada nada. 
Kemo step ke 2 dikerjakan. Kelihatannya Allah betul-betul menguji kesabaranku. Saat akan dikerjakan kemo, tabung infus 1000cc yang dipakai untuk kombinasi obat kemo nyatanya tak ada. Rumah sakit kehabisan stok, serta ini yaitu satu kecorobohan yang harusnya tidak berlangsung. 
Karna pastinya pihak rumah sakit sudah mengetahui jadwal pelaksaan kemo ini. Dokterpun geram. Lalu Dokter merekomendasikan aku untuk selekasnya beli sendiri tabung infus ditempat beda. Maksud aku yaitu RSCM jadi Rumah sakit paling dekat, tetapi bila menuju RSCM memakai kendaraan juga akan menelan saat lama karna jalannya memutar. Sayapun lari ditengah sinar matahari jam 12 siang menuju RSCM. Tetapi di sanapun tidak ada, lalu aku lari sekali lagi menuju RS Sant Carolus, di sinipun nihil. 
Demikian halnya saat aku ke Apotik melawai tidak dapat memperolehnya. Pada akhirnya aku memperoleh tabung infus tersebut di Apotik Titimurni RS. Kramat. Pada akhirnya kemo step ke 2 juga bisa dikerjakan. 
Hari ini Dinda anak kami yang kecil ulang th. ke 4. Perhatian serta kecintaan istriku pada anaknya tidak sempat menyusut. Dibatas ketidak berdayaannya dia menuliskan suatu hal, “Ayah janganlah lupa beliin hadiah buat Dinda, bapak beliin jaket kelak bunda titip mukena, kasihan mukena dede telah buruk. Katakan ke dede ini mukena dari bunda. ” 
Atas keinginan istriku siang itu jadi tanda sukur kami memotong 2 buah kue ulang th. yang satu diantaranya untuk diberikan ke suster-suster yang jagalah. Lalu istriku minta dibantu turun dari tempat tidur, tuturnya menginginkan duduk bareng deket Dinda. Ia coba memberi senyum bahagia pada Dinda serta sembunyikan rasa sakitnya. Sesaat Dinda terlihat bahagia dipangku bundanya, mungkin saja ia menduga bundanya cuma sakit umum saja. Lagu “selamat ulang tahun” yang kami nyanyikan terdengar getir di telingaku. Merasa pilu saya memandang mereka. 
Umumnya bila istriku inginkan suatu hal ia juga akan membangunkan aku dengan mengetuk besi tempat tidurnya. Tetapi malam itu aku terasa begitu ngantuk serta capek, aku menulis pesan pada istriku, “bun.. kelak jika butuh apa-apa panggil suster saja ya! Bapak ngatuk serta cape, janganlah bangunin bapak ya! ” Dengan isyarat lemah ia mengiyakan permintaanku, ia menyeka tanganku lalu menuliskan suatu hal “ayah tidur saja gapapa kok, bunda juga ingin istirahat. ” 
Tak tahu kenapa pagi hari ini saya begitu menginginkan merawatnya. Saat ia kembali terserang diare berulang-kali yang begitu hebat saya sendiri yang bersihkan semua. Lalu memandikannya serta ganti bajunya. Pagi itu saya minta Lia anak sulung kami yang masih tetap duduk di kelas 5 SD untuk melindungi bundanya, sebelumnya lalu saya tinggal pergi kerja. 
Siang jam 11 Lia menelpon “Ayah, bunda pingsan nafasnya cepet banget. ” Saya kaget serta begitu cemas. Selang 15 menit Lia sms “bunda saat ini berada di ruangan ICU”. Astaghfirullah haladziim… apa yang berlangsung pada istriku. Selekasnya saya minta izin meninggalkan kantor. Di Tempat tinggal Sakit saya temui Lia menangis sesegukan tidak berhenti. “bunda yah… tolongin bunda yahh….! ” 
Kuhampiri istriku yang tergolek taksadarkan diri. Perawat menempatkan semuanya perlengkapan pada badan istriku, tak tahu alat apa sajakah ini. Kuusap perlahan-lahan keningnya, dingin sekali. Tangan serta kakinyapun begitu dingin. Sampai mendekati maghrib saya tidak beranjak dari sebelahnya. Tidak hentinya mulut ini memanjatkan doa. Sesaat diluar ruangan ICU telah banyak kerabat berdatangan. 
Desakan darahnya begitu rendah di bawah 70. Dokter memberi obat penguat desakan darah dengan dosis tinggi. Desakan darahnya pernah naik tetapi masih tetap dikisaran 75-80, begitu rendah. Berulang-kali dokter menyuntikkan obat perangsang tetapi akhirnya tetaplah sama tidak beralih. Dokter menyebutku, perasaanku gelisah tidak menentu, campur aduk pada kuatir, bimbang serta ketakutan yang sangat begitu. Sangkaanku benar Dokterpun menyerah.
Lihat keadaannya yang selalu alami penurunan ia merekomendasikan supaya semuanya alat bantu dilepaskan saja. “maksudnya dok..? ” saya menodong penjelasan. “secara medis keadaan ibu telah tidak bisa ditolong sekali lagi, tambah baik kita do’akan saja. ” Saya betul-betul lemas mendengarnya semua tubuhku gemetar merinding “benarkah tidak ada sekali lagi keinginan. ” Mendadak saya rasakan ketakutan yang mengagumkan. Saya tidak ingin menyerah, saya memohon supaya semuanya alat bantu itu tetaplah terpasang pada badan istriku, sembari menanti ketentuan tim dokter besok pagi. 
“Aku tidak ingin kehilanganmu bunda. ” Ku pegang kuat jemarinya, “buka matamu bunda sebentar saja, bapak menginginkan memandang mata bening bunda untuk paling akhir kalinya, ” kubisikan lembut ditelinganya. 
Jam 22, saya disodori surat pernyataan, tidak pernah saya baca, kata suster ini yaitu Surat kesepakatan untuk melepas semuanya alat bantu dari badan istriku. “Tak mampu saya lakukan ini bun, saya menginginkan tetaplah memandang wajahmu, saya menginginkan tetaplah mendampingimu walau dalam ketidakberdayaanmu. ” 
Pada akhirnya adikku yang menandatanganinya. Saya tidak menginginkan senantiasa dihinggapi rasa bersalah bila di tandatangani surat itu. Lalu semuanya alat bantu dilepaskan dari badan istriku, tinggal tersisa alat pendeteksi detak jantung. 
“Bun….. berikut yang paling baik yang didapatkan Allah buat kita, maafkan bapak bun bapak tidak dapat melindungi bunda. Bapak ikhlas bunda pergi, bapak terima semuanya dengan ihklas bun.. Janganlah cemas bun, bapak juga akan melindungi serta menjaga anak-anak kita, ” kubisikan lirih ditelinga istriku. 
Kutemui Lia yang menanti di luar ruangan ICU, kubelai rambutnya penuh sayang. Ia menangis keras sejadi-jadinya, mungkin saja ia memahami apa yang kumaksudkan. “Bundaa….. Lia gak ingin kehilangan bunda, janganlah tinggalin lia bundaa..!! ” Tangisnya memekik, merebut perhatian kebanyakan orang diruang tunggulah ICU ini. Semuanya mata memandang kami namun mereka diam seakan mahfum dengan kondisi kami. 
Dalam tiap-tiap rangkaian doaku tidak sempat saya mengatakan kalimat menyerah “kalo memanglah akan Engkau ambillah jadi mudahkan, ” tidak sempat saya mengatakan kalimat itu. Saya senantiasa minta kesembuhan, kesembuhan karna saya memanglah inginkan istriku betul-betul pulih. 
Kelihatannya saat ini saya mesti menyerah serta pasrah “Ya.. Robb bila memanglah Engkau memastikan jalan beda saya ikhlas ya Allah…., mudahkan jalan istriku untuk menghadapmu dengan khusnul khootimah. ” 
Menurut suster dalam keadaan begini pasien masih tetap dapat mendengar. Kubimbing istriku mengatakan kalimat “LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH.. ” perlahan-lahan saya menuntunnya. Rasa-rasanya saya tahu benar tiap-tiap helaan nafasnya, raga kami seperti menyatu. Kuulang sampai berulang-kali dengan helaan nafas yang terirama perlahan. Dua bulir bening tersembul dari pojok matanya. Saya rasakan ia mampu ikuti kalimat ini, terimakasih ya Allah..! 
Saya terbangun saat mendadak seseorang suster menyebut “Keluarga ibu Siti Nurhayati..! ” Saya bergegas masuk ke ruangan ICU, jam menunjuk Jam 05. 05, masih tetap pagi dengan udara dingin yang menyelinap tulang. “Ma’af pak, ibu telah tak ada. ” tutur suster barusan singkat. Walau saya tau tujuannya namun saya masih tetap tidak yakin. Kutengok monitor monitor yang tersambung ketubuh istriku. Tidak ada sekali lagi yang bergerak di sana. 
Seperti tersambar petir, kudekap badan lemas istriku. Bibirnya menoreh segaris senyum. “INNA LILLAAHI WAINNA ILAIHI ROOJIUUN. ” Saya lunglai terduduk disebelahnya namun tidak ada sekali lagi air mata yang keluar. “Bun, Bapak ikhlas melepas bunda, Allah sudah memilihkan jalan paling baik buat kita. ” 
Selamat Jalan Istriku…… jemput saya serta anak-anak kelak di pintu SurgaNya. 
Mudah-mudahan berguna untuk yang membacanya …. 
Salam Tercinta.. 
Dari Teman dekat Untuk Teman dekat … 
… Mudah-mudahan tulisan ini bisa buka pintu hati kita yang sudah lama terkunci

Related Posts