5 Sebab Menikah Menurut Islam ,(Kalau Bukan Karena Ini, Pernikahanmu Bisa Nggak Berkah)

shares


Islam adalah dîn yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk digunakan dalam mengatur interaksi manusia dengan Rabbnya, interaksi manusia dengan dirinya sendiri dan interaksi antara manusia dengan manusia lainnya.

5 Alasan Menikah Menurut Islam (Kalau Bukan Karena Ini, Pernikahanmu Bisa Nggak Berkah)
5 alsan menikah menurut Islam
Interaksi manusia dengan Rabbnya diatur dengan serangkaian aturan dan ketentuan mengenai akidah, juga ibadah.
Interaksi manusia dengan dirinya sendiri diatur dengan serangkaian aturan berkenaan dengan pakaian, minuman, makanan, dan akhlak.
Sedangkan interaksi manusia dengan sesama manusia lainnya diatur dengan serangkaian aturan mengenai muamalah dan uqubat.
Muamalah di situ mencakup seluruh bentuk interaksi antara manusia di tengah masyarakat. Bagian dari bentuk muamalah ini adalah hubungan antara manusia laki-laki dengan manusia perempuan di dalam masyarakat. Dan bahagian dari bentuk interaksi ini adalah hubungan yang berkaitan dengan perikehidupan keluarga.

Untuk semua itu Islam telah memberikan aturan yang paripurna, paling sesuai dan mendatangkan kebaikan bagi manusia. Seluruh aturan tersebut diperuntukkan bagi manusia agar menjadi aturan kehidupan mereka di dunia.

Islam sangat memperhatikan segala bentuk interaksi yang dilakukan dan terjadi di antara manusia. Semua bentuk interaksi manusia itulah yang akhirnya menyusun corak kehidupan manusia. Perhatian Islam terhadap segala bentuk interaksi tersebut adalah sama. Semua bentuk interaksi diberikan aturannya oleh Islam tanpa memandang bahwa satu bentuk interaksi lebih urgen dari yang lain. Satu hal yang mendasar bahwa Islam memandang semua interaksi tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Aturan-aturan yang didatangkan oleh Islam untuk setiap bentuk interaksi bukanlah aturan yang terpisah, namun semua aturan itu saling terkait dan muncul dari dasar yang satu yang menjelma sebagai sistem kehidupan. Karena muncul dari dasar yang satu yaitu akidah Islam, menjadikan serangkaian aturan interaksi kehidupan–aturan sistem kehidupan–itu menjadi sistem kehidupan yang khas. Kekhasan ini menjadikan siapa saja yang menjalankannya, baik individu maupun masyarakat, akhirnya menjadi sosok individu atau masyarakat yang bercorak khas yang berbeda dengan individu atau masyarakat lain yang menggunakan aturan yang muncul dari dasar yang lain.

Oleh karena itu, masalah meminang sesungguhnya bagian dari sistem hidup. Tidak boleh difahami hanya sebatas meminang saja dan lepas dari masalah lainnya. Akan tetapi masalah meminang ini harus ditempatkan sebagai bagian dari aturan-aturan sistem interaksi dimana sistem interaksi itu sendiri merupakan bagian dari sistem hidup Islam secara keseluruhan.

Dalam meminang dengan paradigma di atas, maka setidaknya ada beberapa hal yang harus mendasari pinangan itu. Hal-hal itu adalah:

1. Melandasinya dengan Akidah

Akidah Islam merupakan akidah yang bersifat akliyyah. Akidah akliyyah merupakan pemikiran yang menyeluruh mengenai alam, manusia dan kehidupan, yang memberi pemecahan terhadap ‘uqdah al-kubrâ, yakni berupa pertanyaan mengenai hakikat alam dan sistem keteraturannya, mengenai hakikat manusia dari sisi keberadaan dan tujuan hidupnya, tujuan dari keberadaannya di dunia, dan nasibnya setelah dunia.

Akidah Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh tercermin dalam akidah Lâ ilâha illa-Llâh Muhammad Rasulullah yang membentuk asas pemikiran ideologi Islam. Secara ringkas, akidah Islam adalah bahwa di balik alam, manusia dan kehidupan ada pencipta yakni Allah yang menciptakan semuanya dari ketiadaan, dan bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah, dan bahwa Allah Sang Pencipta mengutus Rasul Muhammad dengan membawa sistem yang memuat solusi (berupa perintah-perintah dan larangan-larangan) bagi seluruh problem kehidupan manusia, dan bahwa hakikat keberadaan manusia adalah untuk mengelola kehidupan sesuai dengan sistem tersebut dan bahwa nanti akan ada kehidupan setelah dunia yakni kehidupan akhirat dan manusia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap pengelolaannya, apakah ia jalankan sesuai sistem yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta ataukah tidak, hasilnya akan menentukan apakah ia layak hidup di surga ataukah di neraka.

Pemikiran mendasar ini membawa konsekuensi bahwa setiap perbuatan manusia, besar atau kecil, tersembunyi atau terang-terangan, semuanya mesti dipertanggungjawabkan dihadapan Allah di akhirat kelak. Hasil pertanggungajawaban itu menentukan nasib manusia selanjutnya, apakah ia akan menikmati kenikmatan abadi atau akan ditimpa siksaan yang dahsyat. Setiap manusia harus mempertanggungjawabkan apakah ia mengikuti aturan (sistem) yang diberikan Allah atau tidak dalam menempuh hidupnya. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima di hadapan Allah adalah bahwa manusia melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang ia fahami dari seruan-seruan Allah kepada manusia, dan bahwa ia melakukan suatu perbuatan semata sebagai bentuk ketaatan kepadaNya, semata ikhlas karenaNya. Paradigma demikian harus dipegang dalam semua bentuk perbuatan, tidak terkecuali dalam meminang. Oleh karena itu, aktivitas meminang harus diletakkan dalam kerangka untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Semangat ini harus dijadikan landasan dalam keseluruhan proses meminang.

Hal-hal yang dinilai tidak sejalan dengan semangat ini harus dijauhi dan dijauhkan dalam proses meminang.

2. Manifestasi Kecintaan Kepada Rasul saw.

Kecintaan kita kepada Rasul saw. merupakan sebuah bukti keimanan. Kecintaan kepada beliau juga akan mendorong kita untuk mengambil dan mencontoh apa yang Beliau perbuat. Kita sangat ingin untuk diakui sebagai kelompok beliau dan kita juga sangat ingin diakui sebagai bagian dari orang-orang yang mencintai beliau.
Berkenaan dengan pernikahan, Rasulullah saw. pernah menyatakan :

Artikel Lainnya:  Begini Cara Nikah Murah & Berkah Di Bawah 6 Juta
النِّكَاحُ سُنَّتِيْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Pernikahan itu adalah sunnahku (jalanku), dan barangsiapa yang tidak menyukai jalanku maka bukan termasuk golonganku.” (HR Ibnu Majah)

Kata Sunnah secara istilah fikih adalah hukum sunnah dimana pelakunya akan mendapat pahala dan yang meninggalkan tidak akan disiksa karenanya. Makna ini tidak bisa kita gunakan untuk memaknai kata sunnah dalam hadis di atas, karena adanya indikasi yang menghalangi pemaknaan dengan makna istilah fikih tersebut. Indikasi tersebut adalah disandarkannya kata sunnah dengan ya’ (يْ) nisbah yang menyatakan kepemilikan bagi orang pertama. Oleh karena itu kata sunnah dalam hadis di atas harus dimaknai dengan makna bahasanya yaitu “jalan”.

Rasulullah secara jelas menyatakan siapa saja yang tidak suka dengan jalan beliau maka tidak termasuk golongan beliau. Sementara sebelumnya Beliau menyatakan bahwa menikah adalah bagian dari jalan beliau. Maka barangsiapa yang tidak suka menikah sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap jalan beliau, maka orang tersebut secara tegas tidak termasuk golongan beliau. Namun jika seseorang tidak menikah bukan karena tidak suka terhadap jalan Rasulullah saw., dan tidak menikah bukan karena hendak konsentrasi hanya untuk beribadah saja, maka hal itu tidak mengeluarkannya dari golongan beliau.

Jika menikah adalah bagian dari jalan beliau, sedangkan langkah paling awal untuk menikah adalah meminang (khitbah) maka pinangan haruslah disertai kesadaran bahwa hal itu dilakukan karena ingin menempuh jalan yang termasuk jalan Nabi saw. Dan karena pinangan dilakukan untuk menempuh jalan beliau, maka melakukan pinangan sesuai dengan contoh dan tuntutan yang Nabi berikan menjadi sebuah konsekuensi logis yang harus dilakukan.

Related Posts